UNRAS.COM, Indonesia – Menjelang Hari Raya Idul Fitri, masyarakat Indonesia memiliki tradisi unik yang selalu dinantikan, yakni budaya tukar uang baru. Tradisi ini telah berlangsung lama, terutama karena momen Lebaran identik dengan pemberian tunjangan hari raya (THR). Kebutuhan akan uang pecahan kecil meningkat drastis seiring banyaknya warga yang ingin berbagi rezeki dengan kerabat, tetangga, dan saudara di kampung halaman.

Budaya ini semakin terasa di pedesaan, di mana mayoritas perantau yang kembali mudik membawa uang baru sebagai bentuk apresiasi dan kebahagiaan bagi keluarga mereka. Uang pecahan kecil seperti Rp2.000, Rp5.000, Rp10.000, hingga Rp20.000 menjadi yang paling dicari, karena dianggap lebih praktis untuk dibagikan.

Di balik semaraknya tradisi tukar uang baru, muncul fenomena menarik yang kini berkembang menjadi peluang bisnis tersendiri. Tidak semua orang bisa langsung menukar uang di bank, sehingga banyak yang memanfaatkan jasa penukaran uang dengan tarif tertentu. Fenomena ini tidak hanya terjadi di perkotaan, tetapi juga di pedesaan, di mana biaya penukaran bervariasi tergantung daerahnya.

Masyarakat biasanya mulai menukarkan uang baru beberapa minggu sebelum Lebaran tiba. Bank-bank di berbagai daerah pun mulai menyediakan layanan khusus bagi nasabah yang ingin mendapatkan uang pecahan kecil. Namun, karena tingginya permintaan dan keterbatasan stok uang baru di bank, banyak orang akhirnya beralih ke jasa penukaran uang di luar perbankan.

Para penyedia jasa ini biasanya mendapatkan uang pecahan langsung dari bank melalui berbagai cara, termasuk memanfaatkan koneksi dengan pegawai bank atau mengantri lebih awal. Mereka kemudian menjual uang baru tersebut dengan biaya tambahan, yang besarnya bervariasi. Rata-rata, biaya tukar uang di luar bank berkisar antara Rp2.000 hingga Rp15.000 per Rp100.000, tergantung lokasi dan ketersediaan uang pecahan kecil.

Di kota-kota besar, jasa penukaran uang ini bahkan dilakukan secara lebih profesional. Banyak penyedia jasa yang menawarkan layanan melalui media sosial atau platform digital. Mereka menyediakan berbagai nominal pecahan dengan tarif yang transparan, sehingga memudahkan pelanggan dalam bertransaksi.

Sementara itu, di pedesaan, sistem penukaran uang lebih bersifat kekeluargaan. Banyak perantau yang pulang kampung membawa uang pecahan baru dalam jumlah banyak dan kemudian menukarkannya kepada warga sekitar dengan biaya tertentu. Bagi mereka yang tidak memiliki akses ke kota, jasa penukaran ini menjadi solusi praktis untuk mendapatkan uang baru tanpa harus bepergian jauh.

Fenomena ini juga melibatkan calo yang beroperasi di sekitar bank. Mereka menawarkan jasa penukaran dengan imbalan tertentu kepada orang-orang yang tidak ingin repot mengantri di bank. Meskipun praktik ini tidak ilegal, pihak bank dan otoritas keuangan sering mengingatkan masyarakat untuk melakukan penukaran secara resmi agar terhindar dari risiko penipuan atau uang palsu.

Meskipun memiliki sisi bisnis yang menguntungkan bagi sebagian orang, budaya tukar uang baru tetap menjadi bagian dari tradisi Lebaran yang dinantikan. Selain memberikan kesan lebih berharga, uang baru juga dianggap sebagai simbol keberkahan dan kebahagiaan saat berbagi dengan orang lain. Oleh karena itu, setiap tahunnya, budaya ini terus berlangsung dan semakin berkembang seiring dengan perubahan zaman.