Unras.com – Washington, D.C. – Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan penghentian pasokan obat-obatan dan bantuan medis kepada negara-negara yang menerima dukungan dari Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Kebijakan ini mencakup penghentian distribusi obat-obatan untuk penyakit serius seperti HIV, malaria, dan tuberkulosis (TBC), serta pasokan medis yang krusial bagi bayi baru lahir.
Keputusan ini diumumkan sebagai bagian dari langkah pembekuan pendanaan bantuan luar negeri yang lebih luas. Dalam keterangannya, Trump beralasan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mengoptimalkan pengeluaran pemerintah serta mengalihkan fokus ke dalam negeri. Namun, keputusan ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak yang menilai bahwa langkah tersebut dapat mengancam jutaan nyawa di negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada bantuan medis dari USAID.
USAID sendiri memiliki peran penting dalam menyediakan bantuan kesehatan global, termasuk program pengobatan bagi pasien HIV dan malaria di berbagai negara miskin. Penghentian bantuan ini diperkirakan akan berdampak signifikan terhadap sistem kesehatan di banyak negara yang selama ini mengandalkan pasokan obat dari Amerika Serikat.
Langkah ini juga telah menyebabkan ketidakpastian di kalangan kontraktor dan mitra USAID. Sejumlah perusahaan yang bekerja sama dengan badan tersebut telah menerima pemberitahuan resmi untuk menghentikan operasi mereka. Salah satu di antaranya adalah Chemonics, sebuah perusahaan konsultan yang telah lama bekerja dengan USAID dalam mendistribusikan obat-obatan ke berbagai belahan dunia.
Atul Gawande, mantan pejabat USAID, menyebut bahwa kebijakan ini merupakan bencana besar bagi kesehatan global. Ia menekankan bahwa penghentian program pengobatan HIV dapat meningkatkan risiko penyebaran virus dan membahayakan jutaan pasien yang bergantung pada terapi antiretroviral untuk bertahan hidup.
Selain HIV, penghentian pasokan obat malaria dan TBC juga dinilai berbahaya. Tanpa pengobatan yang memadai, pasien TBC berisiko mengembangkan resistansi terhadap antibiotik, yang dapat mempersulit penanganan penyakit ini di masa depan. Sementara itu, malaria tetap menjadi ancaman utama di banyak negara berkembang, terutama di Afrika, di mana penyakit ini menyebabkan ratusan ribu kematian setiap tahunnya.
Menurut laporan The New York Times, penghentian pasokan obat-obatan ini berpotensi menyebabkan lonjakan angka kematian dalam dekade mendatang. Di Afrika Selatan, misalnya, diperkirakan hingga 600.000 orang dapat kehilangan nyawa akibat kebijakan ini. Hal ini semakin diperburuk dengan kemungkinan munculnya strain virus yang lebih resisten terhadap pengobatan, yang dapat menyebar ke berbagai belahan dunia.
Di sisi lain, kebijakan Trump ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan organisasi kemanusiaan dan lembaga kesehatan global. Banyak pihak mendesak pemerintah AS untuk mempertimbangkan kembali keputusan ini dan mencari solusi yang tidak membahayakan jutaan nyawa di negara-negara berkembang.
Jirair Ratevosian, mantan kepala staf PEPFAR di era Joe Biden, menyebut keputusan ini sebagai "efek domino berbahaya" yang dapat menghancurkan upaya global dalam menangani epidemi penyakit menular. Ia menekankan bahwa kesehatan masyarakat tidak boleh dijadikan alat politik dan menuntut tindakan segera dari komunitas internasional untuk mengatasi dampak dari kebijakan ini.
Dengan penghentian pasokan obat-obatan ini, banyak negara kini harus mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan medis warganya. Namun, tanpa bantuan USAID, banyak di antaranya yang diprediksi akan menghadapi krisis kesehatan yang semakin parah dalam waktu dekat.
0Komentar